sponsor

Sakaratul maut sang ibu

Bulan ramadhan, bulan yang penuh berkah bagi umat
muslim sepertiku. Kesuciannya, ketenangannya,
membuatku gembira jika bulan itu menyapaku. Hari
pertama puasa, aku tinggal di sebuah pondok pesantren,
yaitu Al-Khodijah yang bertempat di surodinawan
Mojokerto. Aku menghuninya selama 2 tahun ini. Aku
belajar, mengaji, tertawa, menangis di pondok itu.
Penjara suci itu sangat membuatku bahagia. Oh iya
namaku Viola Darmayanti. Aku anak yatim sejak umur 9
tahun. Dan sejak itulah aku hanya hidup berdua bersama
ibu.

Ibu, yah itulah sosok orang yang setia padaku. Ia
membimbingku, menafkahiku tanpa seorang ayah.
Bagiku dia adalah sesosok pahlawan di hidupku.
Rutinitas ibu semenjak aku di pondok adalah
menjengukku pada setiap hari minggu. “Belajar yang
betul ya nak, Ibu sayang Viola” Ucap ibu padaku tiap kali
bertemu. Aku hanya membalasnya dengan senyuman
dan kecupan di pipinya.

Seperti halnya di semua pondok, disaat ada bulan
ramadhan pasti ada liburan pondok/pulang. Setelah 3
minggu aku berpuasa di pondok, telah tiba saatnya aku
pulang. Aku pulang dengan sangat gembira, begitupun
ibuku. Ibu sangat bahagia jika aku pulang, karena ibu
hanya seorang diri di rumah, tanpa suami dan juga anak.
Berbuka puasa di rumah tak seperti berbuka puasa di
pondok yang hanya makan dengan tahu, tempe dan
kecap. Di rumah, ibu diam diam sudah memasak
makanan favoritku tanpa sepengetahuanku, yaitu nasi
goreng ala bunda dan es garbis buatan ibu. Alangkah
senangnya hatiku.

“Allahuakbar! Allahuakbar!” Suara adzan menyapa
telingaku. “Viola sayang, ayo berbuka puasa dulu”
suruhanya dengan penuh kelembutan. aku pun berbuka
bersamanya. kebiasaan ini berlangsung hanya seminggu.
7 hari kemudian tibalah hari kemenangan yaitu idul fitri,
di mana semua umat muslim berjabat tangan bermaaf–
maafan sebelum hari itu, ibu telah membelikan aku
beberapa baju ada jubah merah, hem, rok, celana dan
masih banyak lagi, betapa senangnya aku punya ibu
sepertinya.
Hari pertama yang kukenakan adalah jubah mungil
berwarna merah “subhanallah cantiknya anakku” puji
ibuku kepadaku sambil menatap mataku. Ibu pun
mengenakakan jubah merah persis sepertiku. “ibu cantik
deh kayak aku” godaku. “ibu aku minta maaf kalau
selama ini aku bandel aku nakal, aku gak pernah nurut
sama ibu, aku sayang banget sama ibu, aku bersyukur
punya sosok bunda seperti ibu. terima kasih bu atas
segalanya” rintihku pada ibu sambil mataku berkaca-
kaca, ibu hanya tersenyum padaku dan berkata “ibu juga
sayang viola, ibu gak peduli viola nakal atau apapun.

Bagi ibu viola adalah sebuah permata indah di lautan
yang sulit ditemukan” sambil mengelus rambutku dan
mengusap air mataku.
Setelah beberapa hari lamanya aku di rumah dan
sekarang, hari ini adalah waktuku untuk mengabdi lagi
pada bunyai seperti biasanya, ibu mengantarku sampai
ke pondok dan akhirnya tibalah di pondok. Ibu
meninggalkanku dengan bekas ciumannya di keningku.
Sedih? iya pasti sejak ayah meninggal pada tahun 2009,
ibu hanya serumah denganku saja. Kakak-kakakku sudah
punya kehidupan masing-masing.
Seminggu berlalu, waktu sambang pun datang tepat
pada pukul 10.00 ibu mengetuk pintu kamarku aku kaget
dan dengan senangnya aku langsung memeluk ibuku
dengan penuh rasa rindu. tapi anehnya, hari itu ibu agak
berbeda. Ibu sangat memanjakanku tak seperti biasa ibu
sangat menunjukkan rasa rindunya padaku.
3 jam berlalu, setelah sholat bersamaku, ibu pamit
padaku untuk pulang, aku pun meng iyakan ibu. “hati
hati di jalan ya bu, gak boleh sedih, harus semangat!
Viola disini bahagia kok bu!” aku mencoba membuat ibu
semangat. ibu hanya menjawabnya dengan senyuman
dan mengecup pipiku lalu pulang.
Esoknya seperti biasa pagi pagi aku mandi, ngaji, lalu
sekolah. Aku bersekolah di SMP MA’ARIF PURI waktu
itu. Lalu aku pulang setelah dhuhur tepatnya pukul 13.30.

Alangkah terkejutnya aku, tiba tiba Vivi keponakanku
menjemputku. Aku kira sih dia kangen sama aku. Tapi
setelah mendengar kabar bahwa ibu sakit dan di rawat di
rumah sakit, aku langsung panik, sehingga aku langsung
keluar pondok tanpa sepengetahuan pengurus ataupun
Bunyai.
Setelah sampai di RS, tepatnya di RS gedeg, Aku
langsung menanyakan dimana ibu. “Ibu di UGD” Jawab
kakakku. Tanpa takut, aku langsung menjenguk ibu di
UGD dan memeluknya. Saat itu, ibu tak sadar, ia hanya
ditemani dengan beberapa alat bantu, saat itulah aku
menangis tersedu-sedu.
24 jam berlalu, ibu dipindah ke ruang khusus untuk
diberikan perawatan intensif. Dokter mondar-mandir
kebingungan memasang alat bantu di tubuh ibu. Aku
hanya bisa menangis menghadapnya dan melihat ibu.
Beberapa jam silang, pemasangan alat-alat di tubuh ibu
telah usai. Aku langsung menghampiri ibu yang tak bisa
sadarkan diri. Ibu hanya bisa meneteskan air mata ketika
mendengar suaraku. “Ibu, plis jangan tinggalin aku
sendiri disini, aku gak bisa ngejalanin hidup tanpa ibu,
Viola mohon ibu sadar di hadapan Viola sekarang juga!
Sekarang bu sekarang!” Sentakku di telinga ibu sambil air
mataku bercucuran. Ibu hanya meresponnya dengan air
matanya dan nafas yang sesak itu.
Malamnya, setelah sholat isya’ aku berdo’a pada sang
kuasa supaya ibu diberikan kesadaran. Tapi entahlah,
doaku tak dikabulkan sang kuasa. Pukul 21.00 aku
tertidur pulas di kursi tunggu depan kamar ibu. Tiba-tiba
aku dibangunkan dan mendengar bahwa ibu telah
menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu pukul 02.00
pagi. Alangkah terkejutnya aku hingga aku tak sadarkan
diri.

Aku bangun dan tiba-tiba aku berada di kamarku. Aku
kebingungan, aku menghampiri ibu, dan saat itu ibu
telah dibungkus dengan kain kafan. Sungguh sedihnya
aku. Aku mengantarkan ibu sampai ke peristirahatan
terakhirnya. Hampir seminggu aku larut dalam kesedihan
ini. Aku tak mau makan dan apapun itu.
Setelah kian lamanya aku sendiri, alias yatim piatu.

“Viola… Sebenarnya ibumu tak ingin meninggalkanmu
sendiri di dunia yang indah ini. Sakaratul maut saja
ibumu seperti tak bisa melakukannya dan kesakitan
karena dia tak bisa meninggalkanmu. Dia sangat
menyayangimu. Lalu aku bisikkan di telinganya bahwa
semua kakakmu akan menafkahimu dan menjaganya
seperti ibumu menjagamu semasa hidupnya. Dan saat
itulah dia baru bisa menghembuskan nafas terakhirnya
bersama syahadatnya” Jelas kakakku panjang. Aku
menangis mendengar cerita itu. Dan kakakku
memotivasiku agar tetap semangat supaya ibu bahagia
bisa melihat anaknya mandiri sepertinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar